Komunikasi memiliki peranan penting, terutama
pada konteks komunikasi di tempat kerja. Dalam komunikasi organisasi, setiap
individu dalam organisasi tersebut mendapat- kan komunikasi untuk menjalankan
fungsi dan tugas masing-masing. Komunikasi tersebut dikelola dengan Komunikasi Internal. Komunikasi internal
menjadi suatu hal yang penting dalam sebuah perusahaan. Komunikasi internal
merupakan proses pertukaran informasi dan komunikasi di antara pimpinan dan
para karyawan dalam suatu perusahaan yang menyebabkan terwujudnya struktur yang
khas dan pertukaran gagasan secara horizontal dan vertikal yang menyebabkan
pekerjaan dapat berlangsung secara efektif (Effendy, 2004).
Ketika seseorang beinteraksi dengan orang
lain, maka saat itulah komunikasi mengambil peranan penting dalam hubungan yang
tercipta. Komunikasi yang sedang berlangsung antar individu terbagi atas apa
yang dimaksud dengan komunikasi verbal atau pun komunikasi non verbal.
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang bersifat lisan atau komunikasi dengan
menggunakan kata-kata (lisan) maupun tulisan (Devito, 2012). Melalui kata-kata,
mereka mengungkapkan perasaan, emosi, pemikiran, gagasan, atau maksud mereka,
menyampaikan fakta, data, dan informasi serta menjelaskannya, saling bertukar
perasaan dan pemikiran.
Komunikasi nonverbal identik dengan komunikasi tanpa menggunakan kata-kata
atau lebih menekankan terhadap pemaknaan
simbol-simbol yang berlaku di sosial masyarakat. Baik komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal memiliki fungsi yang saling
terkait pada komunikasi yang dilakukan
dalam sebuah interaksi.
Menurut penelitian mengenai komunikasi verbal dan non verbal
menunjukkan bahwa 80% komunikasi antara manusia dilakukan secara non verbal.
Komunikasi dikatakan baik apabila komunikasi itu efektif.
Dengan komunikasi yang efektif diharapkan pesan yang disampaikan dapat diterima
dengan baik oleh komunikan. Salah satu indikator keefektifan komunikasi adalah
apabila memenuhi sejumlah syarat tertentu, dimana salah satunya adalah
komunikasi yang mampu menimbulkan kesenangan diantara pihak yang terlibat di
dalamnya.
Upaya untuk menimbulkan rasa kesenangan
saat berkomunikasi adalah dengan menggunakan apa yang disebut dengan komu-
nikasi fatis (phatic communication). Menurut
Vladimir Zegarac dalam “What is Phatic
Communication” Upaya untuk menimbulkan rasa kesenangan saat berkomunikasi
adalah dengan menggunakan apa yang disebut dengan komunikasi fatis (phatic communication) (2009). Yaitu
suatu kondisi dimana komunikasi yang berlangsung tidak bertujuan untuk memperoleh
suatu informasi yang berarti melainkan hanya untuk menimbulkan kesenangan di
antara pihak yang terlibat didalamnya semata.
Meskipun komunikasi fatis ini cukup jarang
dibicarakan dalam kajian komunikasi, namun keberadaan komunikasi fatis di
sekitar lingkungan sosial ternyata sangat diperlukan dan mudah ditemukan.
Misalnya seseorang menanyakan kabar dari lawan bicaranya, maka sebenarnya hal
itu hanya merupakan basa-basi saja. Si penanya tidak bermaksud benar-benar
ingin mencari tahu bagaimana kabar lawan bicaranya, melainkan hanya ingin
menimbulkan suasana keakraban semata.
Komunikasi fatis sebenarnya mencakup seluruh
ruang lingkup komunikasi. Namun, komunikasi fatis biasanya dilakukan melalui
komunikasi verbal dan nonverbal. Bentuk komunikasi nonverbal adalah sentuhan di
pundak atau di punggung lawan bicara juga dapat mengekspresikan gaya komunikasi
fatis. Meskipun komunikasi fatis ini cukup jarang dibicarakan dalam kajian
komunikasi, namun keberadaan komunikasi fatis disekitar lingkungan sosial
ternyata sangat diperlukan dan mudah ditemukan.
Menurut Tubbs dan Sylvia
Moss (2009), Komunikasi fatis sangat berguna untuk mempertahankan kelangsungan
hubungan sosial dalam keadaan yang baik dan menyenangkan. Hubungan yang baik
dan menyenangkan ini sangat diperlukan bagi seseorang untuk mengembangkan
kepribadiannya.
Komunikasi fatis sangat lekat dengan pengaruh
budaya masing-masing individu. Adanya perbedaan konteks komunikasi dalam
keberagaman komunikasi antar budaya terkadang menjadikan komunikasi yang
berjalan tidak efektif. Hal ini terjadi karena keberagaman budaya yang
melatarbelakangi individu sangat berperan terhadap gaya komunikasi seseorang.
Gaya komunikasi ini juga akan berpengaruh ketika individu berbaur di tempat
kerja. Asumsi
tersebut menghantarkan pada satu pemikiran bahwa komunikasi fatis dapat memunculkan
komunikasi yang efektif dalam interaksi antara komunikator dan komunikan, baik
bersifat pribadi ataupun kelompok dalam konteks organisasi.
Berdasarkan pembahasan diatas maka penelitian ini membahas menganai “Analisis Penggunaan Komunikasi Fatis di Tempat
Kerja”. Penelitian ini bertujuan
secara khususnya untuk menjelaskan hal-hal: Mengidentifikasi Penggunaan Komunikasi
Verbal dan Nonverbal yang bersifat Fatis di tempat kerja, Mengidentifikasi Penggunaan Komunikasi Verbal dan Nonverbal
yang bersifat Fatis dalam Penciptaan Komunikasi Efektif di tempat
kerja, Mengidentifikasi Peran Komunikasi Fatis Dalam Pengelolaan hubungan
dalam konteks komunikasi Organisasi.
Secara umum dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan
untuk mendapatkan deskripsi mengenai peranan komunikasi verbal dan nonverbak
dlam konteks komunikasi fatis yang terjadi di tempat kerja. Secara khusus
penelitian ini ingin melihat penggunaan komunikasi fatis digunakan dalam
pengolahan hubu- ngan, khususnya dalam konteks komunikasi interpersonal.
Penelitian ini membatasi ruang lingkup pada komunikasi
interpersonal beberapa profesi pekerjaan yang melibatkan konteks komunikasi
verbal dan non verbal dalam komunikasi fatis. Hal ini berkaitan dengan pola
hubungan interpersonal yang terjadi sehari. Tanpa disadari komunikasi fatisi
banyak mengambil peranan penting dalam pembentukan dan pengelolaan hubungan.
Peneliti menyadari bahwa penelitian ini merupakan sebuah studi pendahuluan,
yang nantinya dapat dilakukan pada ruang lingkup yang lebih luas lagi, untuk
membuktikan komunikasi fatis memiliki pengaruh terhadap pengelolaan hubungan
yang tercipta dari komuniksi interpersonal di tempat kerja dengan metode
observasi yang lebih mendalam.
TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi
Komunikasi merupakan penyampaian
dan pemahaman suatu maksud. Jika tidak ada informasi atau ide yang disampaikan,
komu- nikasi tidak terjadi. Agar komunikasi berhasil, maksud harus ditanamkan dan dipahami (Robbins, Coulter,
2007).
Dapat disimpulkan bahwa pentingnya komunikasi yang terjalin dengan baik antar setiap
pribadi dalam suatu organisasi menjadi perhatian serius, karena jika makna
dalam pesan yang disampaikan tidak sesuai dengan
maksud dari penyampai pesan, hal
tersebut akan menimbulkan masalah
yakni perbedaan pemahaman maksud. Perbedaan pemahaman maksud tersebut dapat memicu kesalahpahaman dalam menerima pesan
dan membuat pesan yang dimaksud tidak tersampaikan dengan baik.
Terdapat empat fungsi utama komunikasi menurut
Robbins dan Coulter (2007) adalah :
a.
Kontrol
Komunikasi bertindak sebagai kontrol perilaku anggota
dalam berbagai cara
b.
Motivasi
Komunikasi mendorong motivasi dengan menjelaskan pada karyawan
apa yang harus diselesaikan,
seberapa baik mereka melakukannya, dan apa yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja jika tidak sejajar. Ketika karyawan menetapkan
tujuan tertentu, bekerja untuk tujuan itu, dan menerima umpan balik dari perkembangan
tujuan itu, maka komunikasi diperlukan.
c.
Ekspresi emosional
Komunikasi yang terjadi di dalam kelompok adalah mekanisme fundamental di mana anggotanya berbagi rasa frustasi
dan perasaan puas. Komunikasi memberikan penyaluran perasaan bagi ekspresi emosional dan untuk memenuhi kebutuhan sosial.
d.
Informasi
Individu dan kelompok memerlukan informasi untuk
menyelesaikan sesuatu dalam organisasi. Komunikasi
menyediakan informasi tersebut.
Komunikasi Antar
Pribadi
Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) merupakan komunikasi yang berlangsung
dalam situasi tahap muka antara dua orang atau lebih, baik secara teroganisasi
maupun pada kerumunan orang (Wiryanto, 2006). Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah
komunikasi antara orang-orang secara tatap-muka, yang memung-
kinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik
secara verbal ataupun nonverbal (Mulyana, 2010: 81).
Menurut
Devito (2012) dalam bukunya The Interpersonal
Communication Book, Komunikasi didefinisikan sebagai: “Proses
pengiriman dan penerimaan
pesan-pesan antara dua orang
atau di antara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa
umpan balik seketika”. (The process of sending and receiving
messages, between two persons, or among a small group of person, with
same effect and same immediate feedback).
Pengertian Komunikasi Antarpribadi yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses pengiriman dan penerimaan
pesan-pesan antara dua orang atau lebih
yang berlangsung secara tatap muka dan memungkinkan pesertanya menangkap
reaksi orang lain dan mendapatkan umpan balik pada
waktu itu juga, baik secara verbal atau nonverbal.
Ciri-Ciri Komunikasi
Antarpribadi
Aw (2011) mengemukakan bahwa apa- bila diamati
dan dikomparasikan dengan jenis komunikasi lainnya, maka dapat dikemukakan lima
ciri-ciri komunikasi antarpribadi, antara lain:
1.
Arus pesan dua arah. Komunikasi antarpribadi menempatkan sumber pesan dan penerima dalam posisi yang sejajar,
sehingga memicu terjadinya pola penyebaran
pesan mengikuti arus dua arah.
2. Suasana nonformal. Komunikasi antar- pribadi
biasanya berlangsung dalam suasana nonformal.
3.
Umpan balik segera. Komunikasi
antar- pribadi biasanya mempertemukan para pelau komunikasi secara bertatap
muka, maka umpan balik dapat diketahui de- ngan segera, baik secara verbal
maupun nonverbal.
4.
Peserta komunikasi berada dalam jarak yang dekat. Komunikasi antarpribadi menuntut agar peserta komunikasinya berada dalam jarak dekat, baik
jarak fisik maupun psikologis. Jarak yang dekat dalam arti fisik,
artinya para pelaku
saling bertatap muka, berada pada satu lokasi tempat tertentu dan secara psikologis menunjukkan keintiman hubungan antarindividu.
5. Peserta komunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan dan spontan, baik secara verbal
maupun nonverbal. Untuk meningkatkan keefektifan komunikasi antarpribadi, pemanfaatan kekuatan pesan
verbal maupun nonverbal, untuk berupaya saling meyakinkan, dengan mengoptimalkan penggunaan pesan
verbal maupun nonverbal secara bersamaan, saling mengisi, saling memperkuat sesuai dengan tujuan komunikasi.
Devito (2012) mengemukakan bahwa komunikasi
Interpersonal adalah komunikasi yang terjadi antara dua orang atau lebih yang
mempunyai hubungan yaqng mantap dan jelas. Komunikasi
interpersonal adalah termasuk pesan pengiriman dan penerimaan pesan antara dua
atau lebih individu. Hal ini dapat mencakup semua aspek komunikasi seperti
mendengarkan, membujuk, menegaskan, komunikasi nonverbal, dan banyak lagi.
Sebuah konsep utama komunikasi interpersonal terlihat pada tindakan komunikatif
ketika ada individu yang terlibat tidak seperti bidang komunikasi seperti
interaksi kelompok, dimana mungkin ada sejumlah besar individu yang terlibat
dalam tindak komunikatif (Sarwono, 2009).
Mulyana (2010) menyatakan
“komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antara
orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap
reaksi orang lain secara langsung, baik verbal ataupun nonverbal”. Pada dasarnya ada dua bentuk dasar komunikasi yang lazim
digunakan dalam dunia bisnis, yaitu komunikasi verbal dan nonverbal (Purwanto,
2006:5).
1.
Komunikasi Verbal (verbal communica- tion)
Komunikasi Verbal (Verbal communicaton) merupakan
salah satu salah satu bentuk komunikasi yang lazim di gunakan untuk menyampaikan pesan-pesan bisnis kepada pihak
lain melalui tulisan mau- pun lisan. Bentuk komunikasi ini memiliki struktur
yang teratur dan terorganisi dengan baik, komunikasi bisnis yang efektif sangat
tergantung pada kete- rampilan seseorang dalam mengirim atau menerima pesan.
Secara umum untuk menmyampaikan pesan-pesan bisnis, seseorang dapat menggunakan
tulisan dan lisan. Sedangkan untuk menerima pesan-pesan bisnis, seseorang
dapat menggunakan pendengaran dan bacaan.
2.
Komunikasi Nonverbal
(Non Verbal
com- munication)
Menurut teori Antropologi, manusia menggunakan kata-kata,
manusia telah menggunakan gerakan-gerakan tubuh, bahasa tubuh (body language) sebagai alat komunikasi
dengan orang lain.
Di dalam suatu badan yang memiliki tu- juan untuk
mensejahterakan anggotanya pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya, maka komunikasi sangat dibutuhkan untuk meyakinkan
konsumen agar konsumen merasa nyaman dan memutuskan untuk membeli ke- butuhan
atau produk yang mereka butuhkan di
tempat tersebut.
Karakteristik
Komunikasi Antarpribadi
Pearson dalam Aw (2011) menyebutkan ada enam
karakteristik komunikasi antarpribadi, yaitu:
1.
Komunikasi
antarpribadi dimulai dengan diri sendiri (self).
Artinya bahwa segala bentuk proses penafsiran pesan maupun penilaian mengenai orang lain, berangkat
dari diri sendiri.
2.
Komunikasi
antarpribadi bersifat transaksional. Ciri komunikasi seperti ini terlihat dari kenyataan bahwa komunikasi
antarpribadi bersifat dinamis, merupakan pertukaran pesan secara timbal
balik dan berkelanjutan.
3.
Komunikasi
antarpribadi menyangkut aspek
isi pesan dan hubungan
antarpribadi. Bahwa efektivitas komunikasi antarpribadi tidak hanya ditentukan oleh kualitas pesan,
melainkan juga ditentukan dari kadar hubungan antar individu.
4. Komunikasi
antarpribadi mensyaratkan adanya kedekatan fisik antara
pihak-pihak yang berkomunikasi, dengan saling bertatap muka.
5. Komunikasi
antarpribadi menempatkan kedua belah pihak yang berkomunikasi saling tergantung satu dengan lainnya (interdependensi),
bahwa komunikasi antarpribadi
melibatkan ranah emosi, sehingga
terdapat saling ketergantungan emosional di antara pihak-pihak
yang berkomunikasi.
6. Komunikasi
antarpribadi tidak dapat diubah
maupun diulang. Artinya, ketika seseorang sudah terlanjur mengucapkan sesuatu
kepada orang lain, maka ucapan itu sudah tidak dapat diubah atau diulang,
karena sudah terlanjur diterima oleh komunikan.
Efektifitas
Komunikasi Interpersonal
Dalam penelitian ini komunikasi interpersonal diukur
dengan menggunakan skala komunikasi interpersonal yang disusun berdasarkan
efektivitas komunikasi interpersonal oleh Devito (2012) yang meliputi:
1.
Keterbukaan (openness)
Kedekatan
antar pribadi mengakibat- kan seseorang bias dan mampu menyatakan pendapatnya
dengan bebas dan terbuka. Kebebasan dan keterbukaan akan memengaruhi berbagai
variasi pesan baik verbal maupun nonverbal.
2.
Perilaku positif (positiviness)
Komunikasi
interpersonal akan ber- hasil jika terdapat perhatian yang positif terhadap
diri seseorang, komunikasi interpersonal akan terpelihara baik jika suatu
perasaan positif terhadap orang lain itu dikomunikasikan, suatu perasaan
positif dalam situasi umum amat bermanfaat untuk mengefektifkan kerjasama.
3.
Empati (empathy)
Kemampuan
memproyeksikan diri kepada peranan orang lain maupun mencoba merasakan
dalam cara yang sama dengan perasaan orang lain.
4.
Sikap positif (positiveness)
Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari
komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika
seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Kedua, perasaan
positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi
yang efektif
5.
Kesetaraan (Equality)
Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan.
Salah seorang mungkin lebih pandai. Lebih kaya, lebih tampan atau cantik,
atau lebih atletis daripada yang lain. Tidak pernah ada dua orang yang
benar-benar setara dalam segala hal.
Komunikasi Organisasi Internal
Menurut Brennan dalam Effendy (2004),
komunikasi internal adalah proses pertukaran informasi dan komunikasi di antara
pimpinan dan para karyawan dalam suatu perusahaan yang menyebabkan terwujudnya
struktur yang khas (organisasi) dan pertukaran gagasan secara horizontal dan
vertikal yang menyebabkan pekerjaan dapat berlangsung secara efektif.
Menurut Effendy (2011) dalam upaya menyampaikan
pesan, ide, gagasan serta informasi lainnya dapat terjadi dalam kontek secara
vertikal dan horizontal, maupun terjadi komunikasi internal sebagai berikut :
a.
Komunikasi Vertikal
Komunikasi vertikal adalah
komunikasi dari atas ke bawah dan sebaliknya adalah komunikasi
dari pimpinan kepada bawahan dan dari bawahan kepada pimpinan secara timbal balik. Pimpinan perlu
mengetahui laporan, tanggapan, atau saran
para karyawan sehingga
suatu kebijaksanaan dapat diambil dalam rangka mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
b.
Komunikasi Horizontal
Komunikasi horizontal adalah komunikasi secara mendatar,
antar anggota staf dengan anggota staf, karyawan sesama karyawan, dan
sebagainya. Komunikasi horizontal seringkali berlangsung tidak formal, mereka berkomunikasi satu sama lain bukan
pada waktu mereka sedang bekerja, melainkan pada saat istirahat, sedang
rekreasi atau pada waktu pulang kerja.
Komunikasi Fatis
Vladimir Zegarac (2009), apa itu komu- nikasi fatis atau What is Phatic communication adalah
pertanyaan untuk jawaban yang dapat diberikan
dalam suatu konteks penjelasan mengenai
tingkah laku yang bersifat komu- nikatif. Ada
sedikit bantahan bahwa teori prag- matis
harusnya memiliki suatu istilah untuk
menyebutkan jenis bahasa yang
digunakan tersebut. Pertama, pertukaran bersifat fatis sangat
umum dalam kehidupan sehari-hari. Jadi,
pendekatan logis (plausible) dari
interaksi verbal dapat menjelaskannya.
Kedua, hubu- ngan yang bersifat fatis memunculkan kesulitan- kesulitan yang spesifik untuk
analisis prag- matis. Jadi,
ada suatu istilah untuk mengatakan tentangnya
dimana seseorang tidak akan benar-benar membutuhkan istilah tersebut untuk disebutkan dengan tipe-tipe
hubungan lainnya. Ketiga, komunikasi fatis
sering di- singgung dan
kadang-kadang dijelaskan namun memang belum pernah
dijelaskan secara terperinci.
Komunikasi fatis dalam bahasa Inggris disebut juga small talk atau chit chat. Orang- orang menyadari bahwa beberapa ungkapan seperti,
“hari yang cerah, bukan?” dan “bagai- mana dengan liburanmu?” adalah percakapan
yang bersifat social. Mereka juga memahami cara melakukan komunikasi fatis
tertentu yang mempersyaratkan terlibatnya mental dan memakan waktu. Komunikasi
Fatis adalah komunikasi yang bertujuan untuk menimbul- kan kesenangan diantara
pihak-pihak yang terlibat didalamnya (Devito, 2012).
‘Phatic
communion serves to establish bonds of personal union between people brought
together by the mere need of companionship and does not serve any purpose of
communicating ideas.
Malinowski dalam jurnal Phatic Communion (Senft, 2009),
menjelaskan bahwa komu nikasi fatis adalah komunikasi yang tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan sehari-hari. Penggunaan komunikasi fatis kita dengan orang
lain sanagat terkait dengan bagaimana budaya kita
berperan membantuknya. Lebih lanjut Malinowski menjelaskan bahwakomunikasi fatis
bisa jadi bukan hanya bentuk basa-basi atau small talk dalam proses komuniasi tersebut, tetapi bisa menjadi pembentuk hubungan antar individu.
Menurut
Fawcett dalam Senft (2009), komunikasi fatis bukanlah mengenai pembagian
informasi saat kita mengatakan
“hari sangat cerah” sementara
kelihatannya hujan akan turun segera, yang
berarti tujuan informasinya
lemah. (… it is not that we are not
sharing information when we say nice day but it
looks as if it may rain soon, but
that the informational purpose
is rather weak).
Jumanto (2008) mendeskripsikan fungsi dan bentuk
komunikasi fatis serta keterkaitan keduanya dengan situasi informal dan formal.
Selain itu, Jumanto juga mendeskripsikan elaborasi empat tipe petutur dalam hal
kuasa dan solidaritas seperti yang dingkapkan Brown dan Gilman. Menurutnya,
bentuk komunikasi fatis terdiri atas tiga struktur, yaitu pembuka, isi, dan
penutup percakapan, yang masing- masing mengambil fungsi untuk memecahkan
kesenyapan, memulai percakapan, melakukan basa-basi dan sopan santu, menjaga agar
percakapan tetap berlangsung, mengungkapkan solidaritas, menciptakan harmoni
dan perasaan nyaman, serta mengungkapkan empati, persahabatan, penghormatan
dan kesantunan. Fungsi tersebut mencakup kuasa dan solidaritas yang ada dalam
diri petutur, dan situasi informal dan formal.
Zegarac menyatakan bahwa
komunikasi fatis sebagai institusi sosial (Phatic communication as a social
institution). Sebagai institusi sosial dalam proses penginstitusiannya memiliki dua tipe, yaitu standarisasi (standardzation) dan konvensionalisasi (conventionalization). Standarisasi
berarti bahwa dalam komunikasi
fatis interpretasi yang terjadi dalam
makna yang terungkap dan dipahami tanpa ada konvensional. Sedangkan
Konvensionalisasi yaitu komunikasi fatis
yang dilakukan dengan ekspresi yang bersifat konvensional, seperti
penggunaan kata hai dan halo.
Budaya High
Contex dan Low Contex
Komunikasi Antarbudaya menjelaskan tentang komunikasi antarbudaya yaitu merupakan
interaksi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang
memilki latarbelakang kebudayaan yang
berbeda (Liliweri, 2009). Salah satu analisis
mengenai perbedaan gaya berkomunikasi
dikemukakan oleh Hall dalam Andriani (2012). Menurut Hall budaya dapat diklasifikasikan kedalam gaya komunikasi konteks tinggi dan gaya
komunikasi konteks rendah. Dalam budaya konteks tinggi, maka terinternalisasi
pada orang yang bersangkutan, dan pesan nonverbal lebih ditekankan. Kebanyakan masyarakat berbudaya
konteks tinggi mengidentifikasi hubungan
dengan melibatkan komunikasi non verbal sebagai pemaknaan dalam berhubungan.
Komunikasi konteks tinggi adalah komu- nikasi yang
bersifat bias makna dan ambigu, yang menuntut penerima pesan agar menafsirkannya sendiri. Komunikasi konteks tinggi bersifat tidak langsung, tidak apa
adanya. Komunikasi konteks tinggi mengandung pesan implisit dan banyak terdapat
dalam konteks fisik (physical context),
sehingga makna pesan hanya dapat dipahami dalam konteks pesan tersebut. Dalam
komunikasi konteks tinggi, makna terinternalisasikan pada orang yang
bersangkutan, dan pesan lebih ditekankan pada aspek non verbal (internalized in the person while very little
is in the coded).
Ciri-ciri Komunikasi Konteks Tinggi ada- lah Typically short, pithy, and poetic (komu-
nikasinya yang singkat, penuh arti, dan puitis). Komunikasi konteks tinggi
sangat mungkin dipahami jika digunakan di dalam kelompoknya sendiri (in
group), tidak untuk kelompok luar (outsiders). Komunikasi konteks- tinggi
bertipikal sedikit berbicara, implisit, dan puitis. Orang berbudaya
kontekstinggi menekankan isyarat kontekstual, sehingga ekspresi wajah,
tensi, gerakan, kecepatan interaksi dan lokasi interaksi lebih bermakna. Orang
dalam berbudaya konteks-tinggi mengharapkan orang lain memahami suasana hati
yang tak terucapkan, isyarat halus dan isyarat lingkungan.
Komunikasi konteks rendah adalah komunikasi yang
bersifat langsung, apa adanya, lugas tanpa berbelit-belit. Karakter komunikasi
semacam ini biasa terjadi di Barat, mereka tidak
suka basa-basi. Pada umumnya,
komunikasi konteks rendah ditujukan pada
pola komunikasi mode
lisan langsung (direct
verbal mode) pembicaraan lurus, kesiapan non verbal (nonverbal immediacy) dan mengirim
berorientasi nilai (sender-oriented values). Pengirim
bersikap tanggung jawab untuk
menyampaikan secara jelas. Dalam komunikasi konteks rendah, pembicara
diharapkan untuk lebih bertanggung jawab untuk membangun sebuah kejelasan, pesan
yang meyakinkan sehingga pendengar dapat membaca sandi (decode) dengan mudah. Ciri-ciri Komunikasi Konteks Rendah yaitu, must be
longer, more elaborated, and explicit
(komunikasinya menggambarkan atau menjelaskan hingga cukup tampak rinci dan panjang, dan saat itu juga
disampaikan secara eksplisit).
Dalam komunikasi antarbudaya, kesabaran penting untuk
memahamai bahasa konteks tinggi dan bahasa konteks rendah. Untuk itu kita
sering meng gunakan eufimisme,
yaitu ungkapan -ungkapan yang
menghaluskan situasi yang
sebenarnya buruk, juga kebohongan putih (white lies) untuk tidak menyinggung perasaan atau memperlakukan orang lain. Sebenarnya gaya
komunikasi tidak dapat dikategorikan
menjadi komunikasi konteks – tinggi dan komunikasi
konteks – rendah. Namun persepsi budaya dapat menjadi
suatu rujukan kenapa hal tersebut
menjadi suatu acuan. Meskipun diakui bahwa kedua gaya komunikasi tersebut boleh jadi ada dalam
budaya yang sama, tetapi biasanya salah satunya mendominasi (Mulyana, 2010).
METODE
Ditinjau dari jenis datanya pendekatan penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Adapun yang
dimaksud dengan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara
holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata- kata dan bahasa, pada
suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
ilmiah (Moleong, 2012).
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Menurut Bogdan dan Tylor (Moleong, 2012) penelitian kualitatif merupakan
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Penelitian deskriptif ditujukan untuk:(1) mengumpulkan informasi aktual secara
rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2)
mengidentifikasikan
masalah atau me- meriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, (3) membuat perbandingan atau evaluasi,
(4) menentukan apa yang dilakukan orang lain
dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar
dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang (Rakhmat, 2005).
Metode analisis data yang peneliti gunakan
adalah metode analisis data deskriptif, karena penelitian ini secara khususnya
untuk menjelaskan hal-hal: Mengidentifikasi Penggunaan Komunikasi Verbal dan
Nonverbal yang bersifat Fatis di tempat kerja, Mengidentifikasi Penggunaan
Komunikasi Verbal dan Nonverbal yang bersifat Fatis dalam Penciptaan Komunikasi Efektif di tempat kerja, Mengidentifikasi Peran Komunikasi Fatis Dalam
Pengelolaan hubungan dalam konteks komunikasi Organisasi.
Menurut Arikunto (2005) metode analisis
deskriptif merupakan penelitian bukan eksperimen, karena tidak dimaksudkan
untuk mengetahui akibat dari suatu perlakuan. Dengan penelitian deskriptif
peneliti hanya bermaksud menggambarkan (mendeskripsikan) atau menerangkan
gejala yang sedang terjadi.
Bogdan dalam Sugiyono (2008)
menyatakan bahwa analisis data adalah proses mencari dan menyusun
data secara sistematis data yang diperoleh
dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat
mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.
Adapun prosedur dalam menganalisis data
kualitatif, menurut Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2008) sebagai berikut:
1.
Reduksi Data,
2.
Penyajian Data,
3.
Kesimpulan atau Verifikasi,
Berdasarkan keterangan di atas, maka setiap tahap dalam
proses tersebut dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menelaah
seluruh data yang ada dari berbagai sumber yang telah didapat dari lapangan dan
dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya melalui metode
wawancara yang didukung dengan studi dokumentasi Bungin (2009).
Dalam usaha mencari keabsahan data dari penelitian ini, maka peneliti berusaha untuk dapat
memenuhi standar dengan melakukan triangulasi. Seperti yang dinyatakan oleh
Denzin dalam Bungin (2009), maka pelaksanaan
teknis dari langkah pengujian keabsahan terdapat empat triangulasi yaitu
peneliti, sumber, metode, dan teori.
Penelitian menggunakan triangulasi sumber untuk memeriksa keabsahan data, yaitu dengan membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi,
orang berada, atau orang pemerintahan,
yang pada akhirnya akan diketahui
berbagai pendapat dan pemikiran
yang berbeda.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini peneliti menggu- nakan
triangulasi sumber, yaitu dengan membandingkan hasil wawancara, observasi
partisipan, dan pandangan peneliti sendiri.
Pembahasan ini mengangkat mengenai proses dan mengkaitkan dengan teori
yang berkaitan tentang hasil proses penelitian tersebut. Telah dijelaskan
diawal penelitian in mengangkat tema mengenai Penggunaan dan Peranan Ko-
muniksi Fatis yang terjadi di Tempat Kerja. Dalam pembahasan kali ini
mengaitkan antara konsep dan hasil yang ada dilapangan di- kaitkan secara lebih
dalam lagi.
Pengunaan Komunikasi
Fatis di Tempat Kerja
Menurut penelitian yang dilakukan melalui
teknik wawancara mendalam dengan para informan, menunjukkan bahwa komunikasi
fatis merupakan komuniksi yang sangat berperan dan penting dalam hubungan
yang tercipta di tempat kerja. Komunikasi yang terjalin di tempat kerja sangat
berbeda jika dibandingkan dengan komunikasi sehari-hari. Dalam komunikasi di
tempat kerja, struktur yang mengikat profesi dan posisi atau jabatan seseorang sangat berpengaruh terhadap bagaimana
seseorang berinteraksi dengan orang
lain. Di tempat kerja, komunikasi interpersonal
yang terjalin lebih kompleks dan dinamis dibandingkan dengan komunikasi interpersonal di lingkungan
sosial seharu-hari. Hal ini berkaitan dengan hubungan yang terjalin yang sangat berkaitan dengan
profesi dan citra seseorang di tempat kerjanya. Untuk itu komunikasi fatis menjadi salah satu cara untuk meningkatkan hubungan
di tempat kerja.
Menurut teori mengenai komunikasi fatis, komunikasi
fatis merupakan komunkasi dilakukan dalam konteks komunikasi interpersonal
untuk komunikasi yang mampu menimbulkan kesenangan diantara pihak yang
terlibat. Kesenangan dalam komunikasi interpersonal sangat erat kaitannya
dengan bagaimana hubungan yang sedang berlangsung. Kedekatan dalam komunikasi
interpersonal dapat memberikan kesenangan yang lebih banyak. Dengan kesenangan
dalam hubungan tersebut, maka akan berdampak pada bentuk hubungan yang lebih
erat dan intim.
Kesenangan yang dimaksud adalah bentuk basa-basi,
saling menyapa, bertegur sapa, menanyakan kabar, komentar mengenai opini
terhadap hal-hal yang sedang menjadi topik bahasan ataupun hanya saling
melakukan eye contact atau menepuk
bahu teman. Hampir setiap hari, sapaan dan small
talk atau basa- basi yang dilakukan adalah bentuk komunikasi fatis dengan
tujuan untuk menjalin hubungan yang baik dengan lawan bicara.
Kesenangan dalam berkomunikasi tersebut memberikan
dampak yang baik dalam hubungan komunikasi internal suatu perusahaan. Konteks
komunikasi interpersonal dalam suatu organisasi perlu suatu keterikatan yang
khusus dibandingkan dengan kehidupan sosial kebanyakan. Dalam komuniksi
organisasi, kesenangan pada berhubungan interpersonal akan berimbas pada
efektifitas kinerja para anggota organisasi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, diketahui bahwa komunikasi fatis merupakan komunkasi yang paling sering mereka gunakan untuk menjalin hubungan ataupun
untuk mempertahankan hubungan dengan
sesama rekan kerja. Komunikasi fatis yang sering dilakukan adalah berbasa-basi dan saling
menyapa ketika berpapasan. Bentuk lain dari komuniksi fatis
yang sering digunakan adalah
menanyakan mengenai beberapa kegiatan
yang sering dilakukan. Small talk atau
basa-basi yang dilakukan tak jarang berkaitan dengan
beberapa hal yang terjadi disekitar,
seperti menanyakan jam, menanyakan kabar,
berkomentar tentang cuaca hari tersebut, berkomentar mengenai apa
yang sedang dilakukan lawan bicara merupakan beberapa bentuk komunikasi
fatis yang biasa dilakukan di tempat kerja.
Berdasarkan hasil penelitian, beberapa komunikasi nonverbal ternyata merupakan bentuk komunikasi fatis yang sering digunakan. Komunikasi nonverbal yang paling sering digunakan adalah saling menyapa diikuti
dengan saling bersalaman atau berjabat
tangan, menyapa dengan cara menepuk punggung rekan kerja, saling melakukan eye contact atau saling menaikan alis
ketika berpapasan, saling melambaikan tangan
atau hanya saling senyum ketika bertatap muka.
Komunikasi nonverbal dalam konteks komunikasi fatis biasanya merupakan
komplemen dari proses komunikasi
interpersonal yang dilakukan.
Devito menjelaskan bahwa hubungan komunikasi nonverbal
pada interaski melibatkan peserta komunikasi mengirim dan menerima pesan
secara simultan dan spontan, baik secara verbal maupun nonverbal. Untuk
meningkatkan keefektifan komunikasi antarpribadi, pemanfaatan kekuatan pesan
verbal maupun nonverbal, untuk berupaya saling meyakinkan, dengan
mengoptimalkan peng- gunaan pesan verbal maupun nonverbal secara bersamaan,
saling mengisi, saling memperkuat sesuai dengan tujuan komunikasi (DeVito,
2012).
Dalam dunia kerja, konteks budaya sa- ngat
berperan dalam pengelolaan komuniksi fatis. Kebanyakan dalam tempat kerja, para karyawan menjadi dangat fasih
berkomunikasi fatis guna untuk meningkatkan hubungan atau hanya untuk menjaga hubungan
dengan atasan, sesama rekan kerja atau kepada pelanggan menjadi lebih baik. Latarbelakang
konteks budaya sangat berperan dalam pengguanaan komuniksi fatis
di tempat kerja. Seseorang yang berasal dari konteks budaya tinggi biasanya lebih fasih dalam penggunaan
komuniksi fatis sebagai bentuk komunikasi yang wajib dalam hubungan interpersonal. Bahasa yang digunakan pun memang benar-benar untuk mengungkapkan
kedekatan (proximity) yang terjaling antara komunikasi interpersoanal yang ada.
Bentuk kedekatan tersebut biasa diperlihatkan dengan sentuhan, intensitas small talk yang lebih sering dan bentuk
ekspresi yang lebih terbuka ketika berinteraksi.
Sedangkan untuk beberapa orang dengan latarbelakang
konteks budaya rendah, komunikasi fatis menjadi suatu bentuk paksaan atau tekanan
dalam hubungan interpersonal yang terjalin. Bagi mereka yang berasal dari
konteks budaya rendah, penggunaan komuniksai fatis yang bersifat small talk atau basi-basi sangat tidak
efisien dalam hubungan dan hanya membuat mereka merasa tidak nyaman. Pola
komunikasi yang terjalin menurut hasil wawancara dengan beberapa informan
juga lebih mengarah pada bentuk komuniksi formal. Artinya hubungan yang
terjalin juga hanya sebatas hubungan kerjaan dan sebatas menyapa saja. Namun
walaupun demikian kominikasi fatis tetap menjadi suatu bentuk komunikasi wajib
dalam hubungan interpersonal terutama ditempat kerja.
Peranan Komunikasi
Fatis di Tempat Kerja
Berdasarkan hasil wawancara, didapati bahwa
para informan secara keseluruhan mengatakan bahhwa peranan dari komunikasi
fatis yang mereka lakukan adalah untuk memulai hubungan hingga untuk menjaga
hubungan. Komunikasi interpersonal, merupakan komunikasi yang melibatkan
antara dua individu. Dalam pengelolaan hubungannya, sering kali terjadi
kecanggungan atau ketidak nyamanan dalam hubungan tersebut. Jika suasana
canggung terus terjadi, bisa saja tingkatan hubungan yang sudah berlangsung
menjadi mundur atau bahkan berakhir. Komunikasi fatis merupakan ice breaking atau pemecah suasana
canggung yang kadang terjadi dalam hubungan atau komunikasi interpersonal.
Menurut teori komunikasi interpesonal,
kedekatan seseorang dalam suatu hubungan dipengaruhi oleh keterbukaan dan sikap
yang positif. Komunikasi fatis merupakan small
talk atau basi-basi yang dapat meningkatkan
keterbukaan dan memberikan umpan balik yang positif terhadap orang lain. Dalam berkomunikasi, kita selalu memperhatikan umpan balik yang
diberikan oleh laawan bicara kita. Dari umpan balik tersebut biasanya kita dapat menentukan
apakah komunikasi yang terjadi
sudah efektif atau belum. Namun terkadang, komunikasi efektif saja belum
cukup untuk dapat menciptakan suasana yang nyaman
bagi orang lain. Basa-basi menjadi kata kunci untuk menciptakan suasana tersebut. Basa basi
juga harus dilakukan sawajarnya dan tidak berlebihan.
Menurut hasil wawancara dan teori yang
digunakan, peranan lain dari penggunaan komunikasi
fatis adalah untuk membentuk kesenangan dan menciptakan
hubungan yang lebih akrab antara sesama
rekan kerja di tempat kerja. Terkadang, banyaknya pekerjaan dan tekanan
yang terjadi di tempat kerja
membuat seseorang merasa tertekan dan bisa saja stres. Dengan berbasa-basi dengan sesama rekan kerja maka tekanan tersebut dapat berkurang dam menjalin hubungan yang
baik dengan rekan kerja. Komunikasi fatis yang dilakukandalam
bentuk sapaan atau hanya berbicara
santai merupakan cara yang efektif untuk melekatkan hubungan kepada rekan kerja. Keterbukaan yng terjadi seiring
dengan komunikasi fatis yang dilakukan menaciptakan suatu kedekatan dalam
hubungan komunikasi interpersonal yang terbentuk di tempat kerja.
Penggunaan komunikasi fatis erat kaitannya
dengan budaya dan latar belakang seseorang. Basa-basi atau small talk yang dilakukan terkait dengan
kontek budaya yang dimiliki oleh tiap individu. Konteks komunikasi di tempat
kerja, berbedaan mengenai kontek latar belakang budaya tersebut disesuaikan
dengan bagaimana budaya dan iklim dari komunikasi organisasi. Setiap perusahaan
memiliki budaya yang berbeda. Budaya organisasi tersebut yang terkadang sangat
dominan membentuk pola hubungan komunikasi interpersonal yang terjadi
didalamnya.
Pengelolaan hubungan yang didasari oleh
komunikasi fatis berkaitan dengan bagai- mana proses komunikasi internal yang
berlangsung. Menurut hasil wawancara mendalam dengan para informan di dapati
juga bahwa komunikasi fatis memiliki konteks formal ketika
bersentuhan dengan komunikasi orga- nisasi. Keakraban atau Proksimity yang
terjadi merupakan buah dari bagaimana hubungan interpersonal yang manfaatkan
oleh para individu. Dalam berkomunikasi, pola hubungan horizontal memiliki
jenis komunikasi fatis yang berbeda dengan pola hubungan komuniksi organisasi
internal vertical. Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh
Jumanto (2008), bahwa fungsi dan bentuk komunikasi fatis serta keterkaitan
keduanya dengan situasi informal dan formal.
Pada komunikasi horizontal, komunikasi fatis
yang digunakan berperan sebagai penguat hubungan
dalam komunikasi interpersonal. Seorang karyawan dengan senang hati akan langsung menegur rekan kerjanya jika
mereka memiliki hubungan yang cukup casual.
Ini menunjukkan bahwa interaksi yang terjaling lebih mementingkan bagaimana proses hubungan tersebut diperkuat oleh
sapaan dan percakapan sebelum memulai rutinitas kerja setiap hari.
Pada komunikasi vertical yang
melibatkan komunikasi fatis, seorang karyawan
menempatkan diri sebagai seornag
pribadi yang ramah dan di senangi
oleh atasan. Pola hubungan yang dilakukan bisa dikategorikan
untuk mempertahankan hubungan yang telah
berlangsung. Persamaan makna yang menjadi focus interaksi lebih pada bagaimana agar pesan dapat di sampaikan dengan efektif dan
terjadi persamaan makna.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, didapati
beberapa kesimpulan yang merangkum mengenai penggunaan dan peran komuniasi
fatis yang terjadi di tempat kerja. Beberpa kesimpulan tersebut adalah:
1.
Penggunaan
komunikasi fatis sangat sering terjadi di tempat
kerja, karena dianggap sebagai pembuka dalam hubungan yang lebuh akrab.
2.
Komunikasi fatis
sangat berperan dalam pembentukan hubungan dan mencipta- kan hubungan yang erat
antar sesama rekan kerja.
3.
Konteks budaya seseorang
sangat berperan dalam penggunaan
komunikasi fatis, seseorang dengan konteks
budaya tinggi cenderung lebih sering meng- gunakan komunikasi fatis dalam hubungan komuniksi interpersonalnya.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi awal
untuk penelitian-penelitian yang membahas mengenai komunikasi interpersonal
dalam kaitan dengan komunikasi fatis khususnya di tempat kerja. Penelitian
ini diharapkan dapat menjadi awal dalam pengelolaan hubngan komunikasi
interpersonal yang terjadi di tempat kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. 2005. Manajemen
Penelitian. Jakarta:
Rineka Cipta.
Aw, Suranto. 2011. Komunikasi Interpersonal.
Yogyakarta:
Graha Ilmu
Bungin, Burhan. 2009. Penelitian Kualitatif.
Jakarta:
Kencana
Devito, Joseph.A. 2012. The Interpersonal Communication Book,
13th Edition. NYC: Longman
Effendy, O. U. 2011. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Flick, U. 2008. An Introduction to Qualitative Research. Second
Edition. London: SAGE Publications Ltd.
Jumanto. 2008. Komunikasi Fatis di Kalangan Penutur Jati
Bahasa Inggris. Semarang: World Pro.
Kriyantono, Rachmat. 2012.
Teknik
Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Liliweri, Alo. 2009. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya.
Yogyakarta: LKIS
Moleong, Lexy J. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2010. Komunikasi
Bisnis Lintas Budaya,
Bandung: RosdaKarya
Neuman, L.W. 2006. Social Research Methods: Qualitative and
Quantitative Approaches. Pearson Education Inc.
Purwanto, Djoko. 2006. Komunikasi Bisnis.
Jakarta:
Erlangga
Rakhmat,
J. 2005. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Robbins, S. P., & Coulter, M. 2007. Manajemen.
Jakarta:
PT Indeks
Sarwono,
Sarlito W dan Meinarno, Eko A. 2009.
Psikologi Sosial.
Jakarta: Salemba Humanika.
Senft, Gunter. 2009. Phatic Communion. Max Planck Institute for Psycholinguistics,
Nijmegen
Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung:
Alphabeta
Tubbs, Stewart L., Moss,
Sylvia. 2012. Human Communication:
Principle and Context 13th Edition.
McGraw-Hill Education
Wiryanto.
2006. Pengantar Ilmu Komunikasi.
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Zegarac,
Vladimir. 2009.
What is Phatic Communication, Cambridge Journal Online.
Review
yang kami dapat dari jurnal diatas sebagai berikut :
Saran
kelompok kami untuk Jurnal dengan judul PENGGUNAAN KOMUNIKASI FATIS
DALAM
PENGELOLAAN HUBUNGAN DI TEMPAT KERJA sebaiknya : karyawan
mengembangkan komunikasi agar hubungan pekerja lebih terjalin dengan baik.
Karena komunikasi fatis merupakan komuniksi yang sangat berperan dan penting
dalam hubungan yang tercipta di tempat kerja. Komunikasi yang terjalin di
tempat kerja sangat berbeda jika dibandingkan dengan komunikasi sehari-hari.
Dalam komunikasi di tempat kerja, struktur yang mengikat profesi dan posisi
atau jabatan seseorang sangat berpengaruh terhadap bagaimana seseorang
berinteraksi dengan orang lain. Di tempat kerja, komunikasi interpersonal yang
terjalin lebih kompleks dan dinamis dibandingkan dengan komunikasi interpersonal
di lingkungan sosial sehari-hari.